Conan
Edogawa, detektif cilik nan imut yang hidup dalam dunia fiksi ini dikenal
karena kejeniusannya dalam mengungkap kasus-kasus pembunuhan yang ada. naruto yang berdedikasi tinggi menyatukan
persahabatan, Karakter yang sama juga terdapat pada Chinmi. Jago kungfu asal
Kuil Dairin ini juga mampu menarik minat pembaca komik Kungfu Boy' dengan
kecerdasannya dalam mempelajari jurus kungfu yang diuraikan seilmiah mungkin.
Dua tokoh fiksi ini memang hidup di dunia komik. Tapi kecerdasannya digilai
para penggemarnya di dunia nyata. Jangan-jangan, kamu salah satu fans mereka.
Ayo ngaku! (maksa nih ceritanya)
Yup,
jadi orang cerdas emang impian. Di sekolah, cerdas identik dengan popularitas.
Siswa cerdas pasti tidak akan luput dari perhatian guru dan pihak sekolah.
Soalnya siswa model gini jadi aset berharga untuk mengharumkan nama baik
sekolah dengan ukiran prestasinya. Meski tampangnya nggak ada bakat fotogenik,
temen-temennya sering SKSD alias Sok Kenal Sok Dekat . Selidik punya selidik,
ternyata contekan PR menjadi penyebab utama kedekatan temen-temennya itu.
Walah?
Tapi
cerdas kayak gimana? Ini yang jadi soal. Sebab saat ini, kebanyakan orang
menganggap kecerdasan selalu berkaitan dengan intelektual, langganan juara
kelas, atau jago ngerjain soal-soal rumit pelajaran Fisika, Matematika, Kimia,
atau Biologi. Seolah nggak ada barometer pemaaf, penyabar, empati, suka
menolong, suka ngingetin, atau aktivis dakwah pada diri siswa cerdas. Kalo pun
ada siswa cerdas yang punya sifat-sifat di atas plus bersuara vokal,
hmm....boro-boro dilirik, kayaknya nggak diciduk ama pihak sekolah aja udah
untung.
Temukan: Cerdas rasa
baru
Untuk
mengukur kecerdasan seseorang, biasanya pihak sekolah, militer, atau tempat
kerja pake hasil karya Alfred Binet (1857-1911) yang kita kenal dengan istilah
IQ alias Intelegencia Quotient (Kecerdasan Intelektual). Tingkat kecerdasan
seseorang dinilai berdasarkan skor yang diperolehnya dari jawaban atas
soal-soal seputar nalar dan logika untuk mengetes kemampuan intelektualnya.
Akan
tetapi, para ahli merasa terlalu sederhana ngukur kecerdasan hanya didasarkan
pada nalar, matematika, dan logika yang diterjemahkan dalam nilai IQ. Hal
inilah yang mendorong para ilmuwan Eropa merumuskan standar baru untuk menilai
kecerdasan seseorang. Maka lahirlah istilah EQ dan SQ yang bersahabat erat
dengan IQ. Apaan tuh?
Daniel
Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa
kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang
80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional.
Penjelasannya, kalo IQ mengangkat fungsi pikiran, maka EQ mengangkat fungsi
perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya mensinergikan intelektualnya
dengan perasaannya yang manusiawi. Biar nggak jadi sombong bin angkuh van
jutek.
Danah
Zohar, penggagas istilah teknis SQ (Kecerdasan Spiritual) menuturkan kalo IQ
bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di
dalam (telinga perasaan), maka SQ ( spiritual quotient ) menunjuk pada kondisi pusat-diri'
( Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence : 2001).
Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber SQ
tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada
setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi
makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan
dan tindakan yang positif. Tolong catet ya.
Nah
sobat, inilah rumusan cerdas rasa baru yang lagi hits. Kita nggak perlu minder
meski IQ kita jongkok atau malah tiarap. Kita tetep bisa tergolong orang cerdas
dengan mengedepankan EQ dan menonjolkan SQ dalam keseharian kita. Caranya nggak
cuma rajin ngikut kursus atau training yang berkaitan dengan itu, kuatkan juga
keinginan kita untuk mengenal Islam lebih dalam. Sebab di sanalah bermuara
segala kecerdasan baik intelektual, emosional, maupun spiritual. Beneran lho!
Menjadi
cerdas dengan Islam
Menurut
Leonardo Da Vinci, kebanyakan manusia menganggurkan anugerah akal yang
dimilikinya. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan,
punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, atau punya
telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan. Rugi amat ya?
Kondisi
ini yang tidak dianjurkan oleh Islam terhadap umatnya. Justru Islam
memerintahkan manusia untuk menghargai akalnya. Salah satunya dengan
menggunakan akal dalam mengimani keberadaan al-Khalik, Nabi Muhammad saw.
sebagai Rasulullah, dan keotentikan al-Quran sebagai kalamullah (ucapan Allah).
Agar akidah Islam tidak dibangun atas dasar taklid alias asal ngikut.
Saking
pentingnya aktivitas berfikir, para shahabat sampe mengaitkannya dengan
keimanan. Mereka berkata: Cahaya dan sinar iman adalah banyak berpikir (
Ad-Durrul Mantsur , Jilid II, Hlm. 409). Otomatis hal ini mendorong kaum
Muslimin untuk mempelajari, memahami, dan mempraktikkan ilmu-ilmu yang mereka
tuntut. Baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian
sudah seharusnya kecerdasan intelektual dimiliki oleh setiap muslim.
Kecerdasan
Emosional boleh dibilang kembaran dengan pembinaan nafsiyah (pola sikap) yang
diajarkan Rasulullah saw. Untuk melembutkan perasaan, beliau mengajarkan kita
sikap rendah hati, pemalu, atau qonaah . Agar kita nggak merasa angkuh ketika
diberi kelebihan atau minder ketika kekurangan. Dalam bersosialisasi, beliau
mencontohkan sikap empati, simpati, saling menolong, saling menasihati, saling
mengingatkan, atau saling memaafkan dalam rangka menjalin persaudaraan.
Sehingga kita nggak mudah melecehkan orang lain karena perbedaaan status
ekonomi, pendidikan, atau sosial. Tingginya EQ bagi seorang muslim berarti
memiliki akhlakul karimah dan menjadi pengemban dakwah.
Dan
terakhir, kecerdasan spiritual (SQ) berarti kesadaran akan pengawasan Allah
Swt. dan malaikat Raqib-Atid. Kesadaran ini tidak hanya sebuah wacana.
Melainkan sebuah kekuatan yang memotivasinya untuk beramal. Melebihi motivasi
yang dilahirkan dari materi, harta, popularitas, gengsi, atau kepintaran. Sebab
SQ bagi seorang muslim terkait dengan hari penghisaban yang akan dijalaninya
kelak di hari akhirat. Allah Swt. befirman:
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (QS al-Isrâ [17]: 36)
Sobat,
semoga uraian di atas ngasih kamu pencerahan tentang kecerdasan dalam Islam
yang khas dengan memasukkan unsur SQ dalam IQ dan EQ. Sebab cuma orang sekuler
yang memisahkan kecerdasan intelektual atau kecerdasan emosional yang terpisah
dari muatan spiritual. Sehingga kita bisa rumuskan kecerdasan bagi seorang
muslim berarti perpaduan antara ISQ dan ESQ. Akur dong? Siip lah! Pokoknya
lanjut terus bacanya!
Produk perpaduan ISQ
dan ESQ
Sobat,
perpaduan ISQ dan ESQ pada masa kejayaan Islam, turut mendorong ilmuwan muslim
untuk menghasilkan karya ilmiah yang tercatat dalam tinta emas perkembangan
ilmu pengetahuan dunia.
Di
antara mereka adalah Ibnu Khaldun. Dunia mengenalnya sebagai seorang ilmuwan
muslim yang gape dalam bidang sosiologi dan ilmu sejarah. Nama lengkapnya Abu
Said Abd Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al Hadrami al Ishbili. Beliau populer
berkat sebuah buku master piece -nya berjudul Muqaddimah (Pendahulan) yang
mengupas tuntas mengenai filsafat sejarah dan sosiologi. Di dalamnya, beliau
menggambarkan tanda-tanda kemunduran Islam dan jatuh bangunnya kekhalifahan
melalui pengalamannya selama mengembara ke Andalusia
dan Afrika utara.
Sobat,
Ibnu Khaldun dan Ibnu Haitham adalah dua dari sekian banyak ilmuwan Islam yang
layak kita teladani. Kegigihan mereka menuntut ilmu dan ketekunan mereka
berkarya, mencerminkan tingginya motivasi ruhiyah yang tergabung dalam
intelektual dan emosional mereka. Ipteknya jago, akhlaknya yahud, kecerdasan
spiritualnya juga oke punya.
Melahirkan generasi Multi
Cerdas
Pada
akhirnya, kita patut prihatin dengan kurikulum pendidikan negeri kita yang
berbasis sekuler. Bisanya cuma menggenjot pelajarnya untuk meningkatkan
kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional siswa lambat laun terkikis dengan
ditanamkannya materi atau prestasi sebagai tujuan akhir dalam mencari ilmu.
Adapun kecerdasan spiritual siswa, nasibnya cukup mengenaskan. Dua jam
pelajaran agama dalam seminggu lebih terlihat sebagai formalitas bin pelengkap.
Parahnya, muatan pelajaran agamanya juga cuma ‘ngobrolin' seputar ibadah atau
bersuci yang nilainya tidak lebih dari hapalan sebelum ulangan dibanding sebuah
pemahaman untuk dipraktikkan. Masa' mau kayak gini terus?
Bener
sobat, kudu ada upaya teknis dan sistemik untuk membenahi sistem pendidikan
negeri kita agar dapat melahirkan generasi ‘multi cerdas’. Generasi unggulan
yang mampu berbicara tidak hanya dalam sains teknologi, tapi juga dalam sikap
serta kesadarannya sebagai seorang muslim. Secara teknis, pendidikan yang
memadai sangat diperlukan untuk menggali potensi para pelajar dari sisi
intelektual. Terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang
proses belajar mengajar. Seperti keberadaan laboratorium dengan alat dan bahan
praktikum yang lengkap bin komplit.
Untuk
mengatasi dekadensi moral yang masuk via media massa cetak dan elektronik, sudah sepantasnya
pihak sekolah mengajarkan Islam secara utuh. Tidak membelah ilmu jadi umum dan
agama. Agar terpompa kesadaran siswa akan kebesaran al-Khalik saat menekuni
ilmu sains teknologi. Sekaligus, menanamkan sikap akhlakul karimah yang
membentengi mereka dari pengaruh buruk lingkungan.
Secara
sitemik, tentu kita tidak akan berpaling dari peran negara yang besar untuk
mewujudkannya. Saatnya negara menyadari kekeliruannya karena telah menjadikan
sekularisme sebagai asas dalam membangun sistem pendidikan negeri kita. Lalu
menggantinya dengan sistem pendidikan yang tidak hanya menekankan kepada
kecerdasan intelektual saja. Akan tetapi mulai menghargai kecerdasan lainnya.
Dan sebagai patokan dari semua itu: cuma ISLAM standarnya. Yang lain?
Lewaaat...!
Cari lah ilmu yang bermanfaat
bukan menumpuk ilmu memperibet otak , kalo kelibet bisa sama sekali gak ke pake
tu ilmu
0 Comments